8 HAK DASAR PEKERJA
DAN PERLINDUNGAN
I.
HAK DASAR PEKERJA DALAM HUBUNGAN KERJA
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh,
meningkatkan dan mengembangkan potensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuannya.
Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a.
Keselamatan dan kesehatan kerja;
b.
Moral dan kesusilaan;dan
c.
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai
agama.
d.
Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi annggota serikat pekerja.
(Dasar hukum , UU 13/2003 UU 21/200 )
II.
HAK DASAR PEKERJA ATAS JAMINAN SOSIAL DAN K3 (KESELAMATAN DAN KESEHATAN
KERJA)
1.
Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( JAMSOSTEK )
Setiap pekerja dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja yang meliputi:
a.
Jaminan Kecelakaan Kerja;
b.
Jaminan kematian;
c.
Jaminan Hari Tua;
d.
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
e.
Jaminan Pensiun
Keselamatan dan kesehatan kerja
2.
K3 (KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA)
Berhak meminta kepada pengusaha untuk dilaksanakannya semua Syarat-syarat Keselamatan
dan kesehatan kerja;
- Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya.
- Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya.
(Dasar Hukum ,UU 13/2003, UU 3/1992, UU 1/1970, KEPRES 22/1993 PP 14/1993, PERMEN 04/1993 & PERMEN 01/1998)
III.
HAK DASAR PEKERJA ATAS PERLINDUNGAN UPAH
Setiap pekerja berhak untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
Setiap pekerja berhak untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun Peninjauan besarnya upah pekerja dengan
masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun
Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara
buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Pengusaha wajib membayar upah kepada buruh, Jika buruh
sendiri sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya.
Pengusaha wajib membayar upah kepada buruh, Jika buruh
tidak masuk bekerja karena hal-hal sebagaimana dimaksud dibawah ini, dengan
ketentuan sbb :
a.
Pekerja menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b.
Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c.
Menghitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
d.
membabtiskan anak, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
e.
Isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari
f.
Suami/Isteri, Orang tua/Mertua atau anak/menantu meninggal dunia, dibayar untuk
selama 2 (dua) hari dan
g.
Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1
hari
Pengusaha wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban negara, jika dalam menjalankan pekerjaan tersebut buruh tidak mendapatkan upah atau tunjangan lainnya dari pemerintah tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.
Pengusaha wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban negara, jika dalam menjalankan pekerjaan tersebut buruh tidak mendapatkan upah atau tunjangan lainnya dari pemerintah tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.
h.
Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut agamanya
selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan.
i.
Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan
pekerjaan yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakan baik
karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari
pengusaha.
j.
Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai hari keempat sampai hari
kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar, upah tersebut
ditambah 5% (lima persen) untuk tiap hari keterlambatan. Sesudah hari kedelapan
tambahan itu menjadi 1% (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan
bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh
persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.
k.
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang harus didahulukan pembayarannya.
(UU 13/2003, PP 8/1981 & PERMEN 01/1999)
(UU 13/2003, PP 8/1981 & PERMEN 01/1999)
3.
HAK DASAR PEKERJA ATAS PEMBATASAN WAKTU KERJA, ISTIRAHAT, CUTI DAN LIBUR
Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja sebagaimana berikut :
Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja sebagaimana berikut :
a.
7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk
6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.
8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja harus memenuhi syarat:
a.
ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b.
waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1
(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
Pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja
lembur.
Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Yang meliputi:
Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Yang meliputi:
a.
istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk
jam kerja;
b.
istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c.
cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus; dan
d.
istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada
tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh
yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan
yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas
istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk
setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
(UU 13/2003)
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
(UU 13/2003)
4.
HAK DASAR UNTUK MEMBUAT PKB
Serikat pekerja/Serikat buruh, federasi dan konfederasi Serikat
pekerja/Serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :
-
Membuat Perjanjian Kerja Bersama dengan Pengusaha
-
Penyusunan perjanjian kerja bersama dilaksanakan secara musyawarah.
-
Perjanjian kerja bersama harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin
dan menggunakan bahasa Indonesia
-
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja
bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan
-
Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
-
Perjanjian kerja bersama dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1
(satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat buruh.
-
Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai
paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang
sedang berlaku.
-
Dalam hal perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka perjanjian kerja
bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.
-
Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat:
a.
hak dan kewajiban pengusaha;
b.
hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c.
jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;
d.
tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
-
Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-
Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka
ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
-
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja
bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(UU 13/2003 & UU 21/2000 )
5.
HAK DASAR MOGOK
-
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya
perundingan.
-
Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan
secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
-
Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuannya ditandatangani
oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau
penanggung jawab mogok kerja.
-
Dalam hal mogok kerja dilakukan pemberitahuannya kurang dari 7 (tujuh) hari
kerja, maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha
dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
a.
melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan
proses produksi; atau
b.
bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di
lokasi perusahaan.
-
Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara
sah, tertib, dan damai.
-
Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
-
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan, pengusaha
dilarang:
a.
mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari
luar perusahaan; atau
b.
memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah
melakukan mogok kerja.
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.
(Dasar hukum UU 13/2003 & KEPMEN 232/2003)
6.
HAK DASAR KHUSUS UNTUK PEKERJA PEREMPUAN
-
Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
-
Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun
dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.
-
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00
s.d. pukul 07.00 wajib:
a.
memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b.
menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
-
Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul
05.00.
-
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja perempuan
dengan alasan menikah, hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya.
-
Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan
kedua pada waktu haid.
Pekerja/buruh
perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum
saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan
menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Pekerja/buruh
perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5
(satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau
bidan.
Pekerja/buruh
perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk
menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
(Dasar hukum UU 13/2003, PERMEN 03/1989 & KEPMEN 224/2003)
(Dasar hukum UU 13/2003, PERMEN 03/1989 & KEPMEN 224/2003)
7.
HAK DASAR PEKERJA MENDAPAT PERLINDUNGAN ATAS TINDAKAN PHK
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
Permohonan penetapan dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan.
Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud diatas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial batal demi hukum.
Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Tambahan
LANDASAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
Permohonan penetapan dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan.
Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud diatas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial batal demi hukum.
Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Tambahan
LANDASAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
1.
UUD tahun 1945
Pasal 27 ( 2 )
Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat & berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan/tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 27 ( 2 )
Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat & berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan/tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
2.
UU No. 18 Tahun 1956 tentang persetujuan konvensi ILO No. 98 (1949); tentang
berlakunya dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding
bersama.
3.
UU No. 1 Tahun 1970; tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
4.
UU No. 3 Tahun 1992; tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
5.
UU No. 11 Tahun 1992; tentang Dana Pensiun.
6.
UU No. 21 Tahun 2000; tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
7.
UU No. 13 Tahun 2003; tentang Ketenagakerjaan.
8.
UU No. 2 Tahun 2004; tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
9.
Keppres No. 83 Tahun 1998 tentang pengesahan konvensi ILO No. 87 (1948); tentang
kebebasan berserikat & perlindungan hak untuk berorganisasi.
10.
Keppres No. 22 Tahun 1993; tentang Penyakit yang timbul karena hubungan
kerja.
11.
PP No. 8 Tahun 1981; tentang perlindungan upah.
12.
PP No. 4 Tahun 1993; tentang Jaminan Kecelakaan Kerja.
13.
PP No. Per-14/Men/2004; tentang tata cara pengangkatan & pemberhentian
hakim ad hoc PHI & hakim ad hoc pada MA.
14.
Permenakertrans No. Per-02/Men/1980; tentang pemeriksaan kesehatan tenaga
kerja dalam penyelenggaraan keselamatan kerja.
15.
Permenakertrans No. Per-01/Men/1981; tentang kewajiban melapor penyakit akibat
kerja.
16.
Permenaker No. Per-06/Men/1985; tentang perlindungan kerja harian lepas.
17.
Permenaker No. Per-03/Men/1989; tentang larangan PHK bagi pekerja wanita
karena menikah, hamil/melahirkan.
18.
Permenaker No. 04 Tahun 1993; tentang Jaminan Kecelakaan Kerja.
19.
Permenaker No. Per-05/Men/1993; tentang petunjuk tehnis pendaftaran
kepesertaan, pembayaran iuran, pembayaran santunan dan pelayanan jamsostek.
20.
Permenaker No. Per-03/Men/1994; tentang penyelenggaraan program jamsostek
bagi pekerja harian lepas, tenaga kerja borongan dan tenaga kerja kontrak.
21.
Permenaker No. Per-01/Men/1998; tentang penyelenggaraan pemeliharaan
kesehatan bagi tenaga kerja dengan manfaat lebih baik dari jaminan pemeliharaan
kesehatan jamsostek.
22.
Permenaker No. Per-01/Men/1999; tentang upah minimum
23.
Permenaker No. Per-01/Men/XII/2004; tentang tata cara seleksi calon hakim
ad hoc PHI & calon hakim ad hoc MA.
24.
Permenakertrans No. Per-01/Men/V/2005; tentang pengangkatan dan
pemberhentian konsiliator serta tata kerja konsiliasi.
25.
Permenakertrans No. Per-01/Men/I/2005; tentang tata cara pendaftaran,
pengujian, pemberian & pencabutan sanksi bagi arbiter hubungan industrial.
26.
Permenakertrans No. Per-06/Men/IV/2005; tentang pedoman Verifikasi keanggotaan
serikat pekerja/serikat buruh.
27.
Permenakertrans No. Per-17/Men/VIII/2005; tentang komponen pelaksanaan
tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak.
28.
Permenakertrans No. Per-08/Men/III/2006; tentang perubahan Kepmenakertrans
No. Kep. 48/Men/IV/2000 (tata cara pembuatan dan pengesahan PP serta pembuatan
& pendaftaran PKB).
29.
Kepmenaker No. Kep-02/Men/1970; tentang Pembentukkan Panitia Pembina Keselamatan
dan Kesehatan Kerja.
30.
Kepmenaker No. Kep-150/Men/1999; tentang penyelenggaraan Jamsostek bagi
tenaga kerja harian lepas, borongan dan pekerja waktu tertentu.
31.
Kepmenakertrans No. Kep-16/Men/2001; tentang tata cara pencatatan serikat
pekerja/serikat buruh.
32.
Kepmenakertrans No. Kep-224/Men/2003; tentang kewajiban pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sd 07.00.
33.
Kepmenakertrans No. Kep-228/Men/2003; tentang tata cara pengesahan penggunaan
tenaga kerja asing.
34.
Kepmenakertrans No. Kep-231/Men/2003; tentang tata cara penangguhan
pelaksanaan upah minimum.
35.
Kepmenakertrans No. Kep-232/Men/2003; tentang akibat hukum mogok kerja yang
tidak sah.
36.
Kepmenakertrans No. Kep-233/Men/2003; tentang jenis dan sifat pekerjaan
yang dijalankan secara terus-menerus.
37.
Kepmenakertrans No. Kep-255/Men/2003; tentang tata cara pembentukkan dan
susunan keanggotaan lembaga kerjasama bipartit.
38.
Kepmenakertrans No. Kep-20/Men/2004; tentang tata cara memperoleh ijin
mempekerjakan tenaga kerja asing.
39.
Kepmenakertrans No. Kep-48/Men/IV/2004; tentang tata cara pembuatan &
pengesahan PP serta pembuatan & pendaftaran PKB.
40.
Kepmenakertrans No. Kep-49/Men/IV/2004; tentang ketentuan struktur dan
skala upah.
41.
Kepmenakertrans No. Kep-51/Men/IV/2004; tentang istirahat panjang pada
perusahaan swasta.
42.
Kepmenakertrans No. Kep-92/Men/VII/2004; tentang pengangkatan &
pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi.
43.
Kepmenakertrans No. Kep-100/Men/VI/2004; tentang ketentuan pelaksanaan
perjanjian kerja waktu tertentu.
44.
Kepmenakertrans No. Kep-102/Men/VI/2004; tentang waktu kerja lembur dan upah
kerja lembur.
45.
Kepmenakertrans No. Kep-187/Men/X/2004; tentang iuran anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
46.
Kepmenakertrans No. Kep-220/Men/X/2004; tentang syarat-syarat penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.
47.
Surat Edaran Menakertrans No. SE.907/Men.PHI-PPHI/X/2004; tentang
pencegahan pemutusan hubungan kerja massal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar