Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan). Ungkapan itu rupanya tidak berlaku bagi pemerintah dan parlemen di Indonesia. Suara rakyat, sekalipun itu disuarakan dengan megaphone di depan istana negara, tetap saja tidak terdengar. Sebaliknya: suara dari para pemilik modal, sekalipun tidak menggunakan pengeras suara, begitu gampang didengar dan direspon oleh pemerintah dan parlemen.
Inilah ironi sistim demokrasi Indonesia sekarang: semua orang diberi kebebasan bersuara, tetapi suara modal-lah yang diakui oleh penguasa. Kehidupan politik kita begitu riuh, bahkan kadang terlalu gaduh, tetapi keriuhan dan kegaduhan itu sangat jauh dari persoalan-persoalan rakyat. Model demokrasi semacam ini, sering disebut dengan istilah “demokrasi liberal”, sudah pernah dibuang ke tong sampah pada tahun 1959.
Dulu, ketika rancangan negara ini masih dalam angan-angan para pendiri bangsa, negara Indonesia masa depan itu dibayangkan sebagai rumah yang bisa memakmurkan seluruh penghuninya. Pendek kata, satu masyarakat yang adil dan makmur, yang tiap-tiap manusia hidup bahagia di dalamnya.
Karena itu, supaya cita-cita itu bisa terwujud, maka dibuatlah Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman dan penuntun jalan bagi bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita nasional: masyarakat adil dan makmur. Sayang, banyak pemimpin negeri gembar-gembor soal pancasila sebatas dimulut saja, tetapi jiwa dan tindakannya sangat bertentangan dengan pancasila itu sendiri.
Lambang garuda pancasila tertempel di gedung-gedung dan kantor pemerintah. Ironisnya, kebijakan-kebijakan yang menindas rakyat, yang jelas berlawanan dengan pancasila, justru keluar dari kantor-kantor tersebut. Pancasila tidak lagi menjadi pedoman dan pegangan hidup, tetapi sudah menjadi lambang mati yang tertempel di kantor-kantor pemerintahan.
Begitu juga dengan UUD 1945. Setelah empat kali mengalami amandemen, konstitusi kita (UUD 1945) sudah seperti macan ompongyang kehilangan taringnya: anti-kolonialisme dan anti-kapitalisme.
Suara rakyat hanya dihargai dalam lima menit dalam lima tahun. Dalam perhelatan itu, suara rakyat diperjual-belikan seperti komodoti yang dibeli seharga sembako. Setelah itu, suara rakyat tidak lebih dari kebisingan yang mengganggu penguasa. Tidak jarang, penguasa mengirim aparat kekerasan untuk menghentikan kebisingan itu.
Demokrasi liberal sudah macet. Demokrasi itu tidak sanggup merespon dan memenuhi amanat penderitaan rakyat. Dalam demokrasi liberal, parlemen tidak pernah berfungsi sebagai “megaphone”-nya rakyat, melainkan menjadi pengeras-suaranya kaum pemilik modal.
Kita butuh demokrasi yang menghargai suara rakyat layaknya suara tuhan. Demokrasi macam itu hanya mungkin jika dibangun oleh rakyat dan dijalankan oleh rakyat sendiri.
Semangat demokrasi macam itu sudah dikonsep oleh para pendiri bangsa: Bung Karno menyebutnya dengan istilah sosio-demokrasi, sedangkan Bung Hatta menyebutnya dengan demokrasi-kerakyatan. Ada baiknya konsep-konsep demokrasi itu digali kembali dan disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar